BUNGA RAMPAI: October 2009

Tuesday, October 20, 2009

BUNGA RAMPAI: ISTERIKU

ISTERIKU

Monday, October 19, 2009

BUNGA RAMPAI: APAKAH SAYA MENGERTI CINTA

BUNGA RAMPAI: APAKAH SAYA MENGERTI CINTA

BUNGA RAMPAI: AKU BERBICARA DENGAN TUHAN, KATANYA

BUNGA RAMPAI: AKU BERBICARA DENGAN TUHAN, KATANYA

BUNGA RAMPAI: AKU LAHIR DARI ANGIN

BUNGA RAMPAI: REBAH LUNGLAI

BUNGA RAMPAI: YESUS BUKAN TUHAN

BUNGA RAMPAI: ENGKAU MENCIBIR

BUNGA RAMPAI: TIDAK DITANAM

BUNGA RAMPAI: REBAH LUNGLAI

Friday, October 9, 2009

bunga rampai

it's very simple and easy way to participate in building one world for human being

in reference to: Google Sidewiki (view on Google Sidewiki)

BUNGA RAMPAI: FILSUF MENJADI MALU

BUNGA RAMPAI: BANGKIT DARI MATIMU

BUNGA RAMPAI: TIDAK DITANAM

BUNGA RAMPAI: TIDAK DITANAM

Tuesday, October 6, 2009

TIDAK DITANAM

Setelah kita rajut untaian kata didalam maya, mengungkap jiwa kita yang tertanam dalam angan angan untuk menggantungkan harapan kita pada hidup dimasa datang.
Meniti bahagia semu yang kita ciptakan bukan dengan mata. Tetapi hati
Kita menjadikan bunga cinta yang tidak pernah ditanam tetapi berjuntaian, berlomba saling membahagiakan dan saling memanjakan .
Dik. . . dengarlah ceritaku
Di Pematang
Pada sepi gunung
Di sesayup bisikan embun pagi hari
Aku dan Pucuk cemara

Kataku

Akan kutinggalkan sepimu ,
Sayup desis angin dipucukmu sebelum malam
Sebab kereta akan membawaku ke arah utara kota
Berjalan dilintasan malam sebelum fajar

Engkau berkata

Pergilah
Pematang tak dapat menopangmu
Engkau lebih besar dari yang engkau pikirkan
Seperti pusaran gelombang samudra ditengah laut
Membanting dan membentur

Seperti
Pelita ditengah malam di atas gunung
Bersinar dari kejauhan
Begitulah kau dihadapan pematang
Katamu meyakinkan

Ku tenteng hingga tiga puluh dua pusaran matahari
Sebuah asa pada ucapan pucuk cemara
Hampa
Hampa
Pucuk cemara . . .
Pucuk cemara . . .
Masih adakah makna pada ucapan disisi pematang
Pada janji yang membuat Ibuku menangis bahagia dan ayahku tersenyum bangga

Aku telah lelah
Bersandar pada tubuh tiga puluh dua pusaran matahari dan hanya diam dan menangis
Entah untuk apa
Aku mengingat ibuku di depan pintu terharu bangga pada anaknya yang pergi melintasi malam ke negeri orang yang bukan sebangsa.
Aku mengingat ibuku tak bersuara melepaskan anak sulungnya jauh dari tatapan mata dengan pengharapan.
Ibu……
Apa kabarmu pagi ini
Kau masih sehat bukan ….
Kudengar
Rambut telah memutih diatas dahimu
Berdua warna
Ibu…
Aku sudah jauh
Jauh sekali………
Telah kususuri pulau pulau
Bahkan
Negeri berwarna coklat berabu
Mereka hitam dan kuat tetapi
Penarinya lemah gemulai
Lembut…….. sekali
Berselendang emas ….bertenun sutra
Tapi tanpa kursi bambu

Ibu …..
Masih adakah kursi bambu
Tempat adikku bersenda gurau
Tempat sahabatku biasa berkumpul
Datang bawakan lagu
Ibuku
bernyanyi sambil merajut sulaman diserambi
Nyanyian dulu
Ketika aku masih kecil

Sebelum tidur
Aku senang. . . sekali mendengarnya
Seperti semilir
Mendayu dayu
Seperti buaian
Katanya ...
Naiklah kepuncak bukit itu
Perhatikanlah apakah ada sebias cahaya dikejauhan.
Dan ia menyuruhku mengejar cahaya itu sebelum sinar matahari menghapusnya.
Tapi hingga matahari kembali tenggelam cahaya itu tak kutemukan, semakin aku berlelah semakin ia menjauh
Ibu,
Waktu akan berlabuh dari perjalanan panjang
mengarungi apa yang tidak terpahami
Membawa keluhan yang tak terucap
Menanti tidur menyibak yang tak terlihat

Engkau berkata

Serumpun bambu adalah makna pada setangkai mawar
mengikat janji diatas dendam dan sakit hati
membangun pengharapan diatas tangisan
kelak esok pagi
bila matahari muncul bergegaslah engkau pada secercah kehampaan bukan harapan.
Terkutuklah waktu yang melahirkan aku, yang memberikan aku minum air susu ibuku.
Berlututlah dihadapanku waktu yang melahirkan aku
berbaring dan menangis
Goreskan luka ditubuhmu tanda penyesalanmu agar hilang rasa sakit hatiku.
Berguncanglah angin
Diangkasa ucapkan rasa sakit hatiku
Koyak koyak dan berteriak hingga pecah suaramu.

Senja datang menjelang serat kehampaan hanya dapat diraih dengan peluh diwaktu tidur

Menangislah aku dengan angin sebab tiada tempat lain untuk mengangis

Kutanggalkan telapak tangan ku diatas perapian agar tetap hangat mencari didalam angan
Kususuri selangkah demi selangkah
nusantara hanya berkata cukuplah sudah
Hari telah senja pematang tak bersuara
Lalu kau datang
Ucapkan sepatah kata
Kak . . .
Setiap perahu pasti berlabuh walau gelombang berganti gelombang dan malam pasti berganti pagi singgahlah dan berlabuh dalam hatiku Link
Link pesta sarumpaet online counter

Web Site Hit Counters
Dell Canada Store